Minggu, 02 Agustus 2009

Agama di Indonesia dan Sistem Perkawinannya

1. Agama Islam.
Agama Islam ajarannya berdasarkan Wahyu Illahi dan merupakan wahyu Illahi terakhir yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w. untuk umat manusia di abad ke 7 masehi sampai akhir jaman, dengan demikian terdapat perbedaan antara wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w. dengan wahyu-wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya, karena wahyu yang diturunkan sebelumnya hanya bersifat lokal untuk suku-suku tertentu saja, sedangkan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w. bersifat universal dan diperuntukkan bagi seluruh umat manusia diseluruh dunia.

Al Qur’an berisi asli firman Allah yang tidak dicampuri oleh kata atau ajaran manusia, mengajarkan atau memberi petunjuk kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akherat.

Al Qur’an meletakkan petunjuk pada seluruh as-pek kehidupan dalam beribadah kepada Illahi yang terdiri atas 114 surat dan 6666 ayat secara umum terkandung didalamnya, mengenai pokok-pokok keyakinan atau keimanan yang melahirkan teologi atau ilmu kalam, pokok-pokok pengabdian kepada Illahi atau ibadah, pokok-pokok aturan ilmu hukum atau yang dikenal dengan Fiqh, pokok-pokok aturan tingkah laku atau aqlak pada sesama manusia maupun kepada Illahi, petunjuk adanya Illahi, sejarah nabi-nabi dan umat terdahulu.

Disamping Al Qur’an pemeluk Islam juga menganut Al Sunnah yang dibagi menjadi tiga;

Pertama, Sunnah Qauliyah yang berisi perkataan atau ucapan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah yang menerangkan hukum-hukum dan maksud Al Qur’an.

Kedua, Sunnah Fi’liyah yang berisi perbuatan Nabi yang menerangkan cara melaksanakan ibadah.

Ketiga, Sunnah Taqririyah berisi penetapan nabi yang mendiamkan, tidak melarang perkataan atau perbuatan sahabat nabi.

Sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah Al Qur’an karena kandungan Al Qur’an belum memberi petunjuk operasionalnya, sehingga masih memerlukan petunjuk operasionalnya melalui Sunnah.

Disamping Al Qur’an dan Sunnah, masih terdapat lagi ajaran-ajaran lain sebagai sumber yang menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah, ajaran-ajaran demikian dinamakan Ijtihad yang muncul karena banyak persoalan yang dihadapi oleh manusia yang tidak ditetapkan secara pasti di dalam Al Qur’an dan Sunnah, tetapi kebenaran ijthad tidak bersifat mutlak artinya dapat diikuti dan dapat juga tidak diikuti.

Syariat Islam atau Syariat Allah memberi garis pemisah yang jelas antara “hak Allah” dan “hak manusia”, hak Allah merupakan kewajiban manusia untuk dilaksanakan yang merupakan rangkaian pengakuan terhadap keesaan, kemahakuasaan, sedangkan keunikanNya dengan mengikuti perintah-perintahNya atau hak-hak manusia dalam perspektif Islam merupakan ketentuan-ketentuan moral yang diatur oleh Syariat Allah.

Syariat Islam atau hukum Islam kini berada dipersimpangan jalan. Pilihan antara Samawi/Wahyu Illahi dan Wad’i/Budaya atau akal pikiran manusia, problem ini tengah menghadangnya.

Kaum Islam Ortodoks menekankan pada wahyu dan kaum Modernis menekankan perlunya menafsirkan Al Qur’an secara rasional.

Kaum Ortodoks maupun kaum Modernis kedua-duanya, prinsipnya setuju dengan aliran determinasi rasional tentang baik dan buruk, bahwa apapun yang diusulkan oleh pikiran baik, pasti baik dimata Tuhan dan harus diikuti. Demikian juga dengan aliran Ortodoks yang menyakini bahwa kebaikan itu, apa yang menjamin kemanfaatan terbesar atau kebahagiaan terbesar untuk sebanyak mungkin orang.

Pendirian kaum Modernis, bahwa hukum Islam diwahyukan demi kemanfaatan manusia, sehingga kemaslahatan atau kepentingan umum merupakan kepentingan puncak, dimana ada maslahat disitu ada hukum Islam. Maslahat diidentifikasikan dengan prinsip dinamisme yang sejalan dengan nalar dan tanpa itu Islam dan hukumnya akan terpental.

Disisi lain kaum Orientalis, memihak kepada perubahan yang selalu terjadi dalam hukum Islam. Karya-karya kaum Orientalis disajikan hanya untuk menambah bahan bakar guna menyulut militan untuk menentang kaum Ortodoks. Sehingga tidak ada landasan tengah antara wahyu Illahi dengan akal pikiran manusia, hal demikian merupakan kenyataan kritis bagi Islam dan hukum Islam jika harus memilih salah satu diantara “wahyu Illahi atau akal pikiran manusia”.

Umat Islam selama lebih kurang 13 tahun di Makkah terhitung sejak pengangkatan Nabi Muhammad sebagai Rasul, masih belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang dapat menguasai suatu wilayah.

Umat Islam menjadi komunitas bebas dan merdeka setelah hijrah ke Madinah pada tahun 622 Masehi, Madinah waktu itu namanya Yasrib.

Di Madinah Muhammad s.a.w. membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang kotanya dihuni oleh beberapa golongan. Muhammd s.a.w. memandang perlu meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya.

Sebagai langkah awal Nabi Muhammad meletakkan ikatan “Persaudaraan” antara muslim pendatang dan muslim Madinah.

Persaudaraan bukan hanya tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari, tetapi lebih dalam lagi pada tingkat saling mewarisi. Kemudian diadakan perjanjian hidup bersama secara damai diantara berbagai golongan yang ada di Madinah, baik diantara golongan-golongan Islam, maupun dengan golongan-golongan Yahudi.

Kesepakatan-kesepakatan antara golongan Muhajirin dan Anshar dengan golongan Yahudi, ditulis secara formal di dalam suatu naskah yang disebut Shahifah.

Kesatuan hidup yang baru dibentuk itu dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad, menjadi negara berdaulat, sedangkan Nabi Muhammad berkedudukan sebagai Rasul dan sekaligus sebagai Kepala Negara.

Menurut Ahmad Sukardja kata shahifah semakna dengan charter atau piagam, dimana kata charter atau piagam lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi tentang sesuatu hal.

Piagam Madinah tersebut dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup dan lain-lain.

Berdasarkan Piagam Madinah itulah warga Madinah yang majemuk, secara politis dibina dibawah pimpinan Muhammad s.a.w.

Piagam Madinah jika dikaji secara mendalam, akan memberikan gambaran tentang karakteristik masyarakat dan negara Islam pada masa awal-awal kelahiran dan perkembangannya.

1. Masyarakat pendukung piagam, merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai suku dan agama. Piagam Madinah secara tegas mengakui eksistensi suku bangsa dan agama serta memelihara unsur solidaritasnya. Piagam Madinah menggariskan kesetiaan kepada masyarakat yang lebih luas daripada kesetiaan yang sempit kepada suku, dengan mengalihkan perhatian suku-suku itu pada pembangunan negara, yang warganegaranya bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan manusia lainnya. Pasal 1, pasal 17, pasal 23 dan pasal 24 Piagam Madinah, adapun tali persatuannya adalah politik dalam ranka mencapai cita-cita bersama. Kemudian bandingkan dengan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar1945 yang mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.

2. Pasal 11, pasal 12 dan pasal 16 Piagam Madinah, semua warganegara mempunyai kedudukan yang sama, wajib saling menghormati dan wajib kerja sama antara sesama, serta tidak seorangpun diperlakukan secara buruk, bahkan orang lemah harus dilindungi dan dibantu. Kemudian bandingkan dengan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang dasar 1945, “semua warganegara mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum dan pemerintahan........”, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara”.

3. Pasal 25-33 Piagam Madinah, Negara mengakui, melindungi, dan menjamin kebebasan menjalankan ibadah dan agama, baik bagi orang-orang muslim maupun non muslim. Kemudian bandingkan dengan Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercyaannya”.

4. Pasal 34 dan Pasal 40 Piagam Madinah, setiap warganegara mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum. Kemudian badingkan dengan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 “setiap warganegara sama kedudukannya dimuka hukum.”

5. Pasal 2, pasal 10 dan pasal 21 Piagam Madinah, hukum adat tetap diberlakukan dengan berpedoman pada kebenaran dan keadilan. Kemudian bandingkan dengan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah memajukan kebudyaan nasional Indonesia dan dalam penjelasannya....... kebudayaan lama dan asli yang terdapat di daerah-daerah diseluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa.

6. Pasal 24, pasal 36, pasal 37 dan pasal 38 Piagam Madinah, semua warganegara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara, berkewajiban membela dan mempertahankan negara dengan harta, jiwa dan mengusir setiap agresor yang menggangu stabilitas negara. Kemudian bandingkan dengan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, tiap-tiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.

7. Pasal 39 Piagam Madinah, sistem pemerintahan desentralisasi, dengan Madinah sebagai pusatnya. Kemudian bandingkan dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.

Pada awalnya hukum Islam ini dianut oleh masyarakat Arab, tempat awal timbulnya dan penyebaran agama Islam, kemudian berkembang kenegara-negara lain di Asia, di Afrika, di Eropa dan di Amerika seiring dengan berkembangnya agama Islam.

Di Indonesia hukum agama mempunyai pengaruh dalam membentuk hukum nasional, diantaranya hukum perkawinan, khususnya sahnya perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Hak Menghalalkan dan Mengharamkan.
Menghalalkan dan mengharamkan atas nama agama merupakan hak prerogatif Allah atau dengan kata lain menghalalkan atau mengharamkan sesuatu itu khusus milik Allah, karena tidak pernah dilimpahkan kepada siapapun juga termasuk para Nabi dan para RasulNya.

Allah Berfirman : Barang siapa yang berhukum, tidak menurut Firman Allah *), mereka itu adalah orang-orang Kafir............................... Al Maidah 44.

*) Firman Allah bukan berarti Al Qur’an saja.

Allah berfirman :
Kalau kamu menuruti kemauan manusia yang ada dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari Syariat/Hukum Allah, mereka tiada lain hanya mengikuti prasangka dan mengadu untung dengan menampilkan kebohongan. Ikutilah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Allah janganlah kamu ikuti selain Allah, .................................. Al An’aam 116.

Allah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu mengharamkan sesuatu, baik yang merangsang selera maupun kepuasan yang telah Allah halalkan untukmu, namun janganlah kamu melampaui batas sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. ............................ Al Maidah-87.

Bahkan Muhammad s.a.w. pun ditegur Allah ketika mengharamkan apa yang dihalalkanNya.

1. Ketika Muhammad s.a.w. mengharamkan madu. Allah berfirman: Hai nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan bagimu, karena hendak mencari kesenangan hati istri-istrimu ...................................... At-Tahrim-1.

2. Ketika Muhammad s.a.w. memohonkan pengampunan pamannya Abdul Thalib yang menolak ajakan Muhammad s.a.w. untuk mengucapkan Kalimah Sahadat dan ketika meninggalnya dimohonkan pengampunannya oleh Muhammad s.a.w., kemudian turun Firman Allah :

Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu penghuni neraka jahanam. (AT Taubah/Baraa-ah 113.)

3. Terhadap para tawanan perang, terdapat dua pendapat, pendapat pertama dari Umar ibnul Khaththab, menghendaki semua tawanan dibunuh, pendapat kedua dari Abu Bakar, menghendaki agar mereka membayar fidyah dan Rasulullah s.a.w. menyetujui pendapat kedua dari Abu Bakar, tetapi kemudian turun wahyu dari Allah yang mencela keputusan Muhammad s.a.w. dan menurunkan FirmanNya sebagai berikut.:

Tidak patut seorang nabi sedang dalam peperangan menukar tawanan perang dengan uang tebusan, sebelum dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi. Kamu menginginkan harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki pahala akherat untukmu dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Al Anfal-67).

Dengan ayat-ayat tersebut Allah menegaskan, bahwa menghalalkan dan mengharamkan itu sepenuhnya hak Allah yang tidak pernah dilimpahkan kepada manusia maupun Rasulnya dan bahkan mengancam dengan hukuman dimasukkan neraka bagi mereka yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dimasukkan dalam golongan orang-orang Kafir, tersebut dalam Al Maidah-44.


Perkawinan menurut Islam.
Halal dan haramnya suatu perkawinan menurut agama Islam berdasarkan pada Al Qur’an;

QS.2 - Al Baqarah 221, mengharamkan Pria Muslim maupun Wanita Muslimah kawin dengan golongan Musryik.

Allah berfirman :
Janganlah kamu (laki-laki Muslim) menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan-perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan-perempuan musyrik sekalipun menarik hatimu. Juga janganlah menikahkan (perempuan muslimah) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu, mereka (kaum musyrik) akan membawa kedalam api (Neraka) ..................... QS. 2 - Al Baqarah 221.

QS. 60 – Al Mumtahanah 10, mengharamkan Pria Muslim maupun Wanita Muslimah kawin dengan golongan Kafir.

Allah berfirman :
Hai orang-orang beriman ! jika perempuan-perempuan beriman datang berhijrah kepadamu, ujilah mereka. Allah mengetahui keimanan mereka; bila sudah kamu pastikan mereka perempun-perempuan beriman, janganlah dikembalikan mereka kepada kaum Kafir; mereka (Wanita Muslimah) tidaklah halal (sebagai istri) bagi mereka (kaum Kafir), dan mereka (kaum Kafir) pun tidak halal (sebagai suami) bagi mereka (wanita muslimah). Dan berikan kepada mereka (kaum Kafir) apa yang telah mereka bayar (mas kawin). Kemudian, tiada salah kamu menikah dengan mereka (wanita muslimah), asal kamu bayar mas kawin mereka. Dan janganlah kamu berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan Kafir; dan hendaklah kamu minta mas kawin yang telah kamu bayarkan, dan biarlah mereka (orang-orang Kafir) meminta apa yang telah mereka bayarkan (mas kawin dari perempuan-perempuan yang datang padamu). Itulah ketentuan Allah; Ia memberikan keputusan yang adil antara kamu. Dan Allah maha tahu, Maha Bijaksana ................ QS. 60 – Al Mumtahanah 10.

QS. 5 – Al Maidah 5, menghalalkan orang-orang Ahli Kitab, dan Pria Muslim dihalalkan mengawini Wanita Ahli Kitab, sedangkan untuk Wanita Muslimah tidak ada larangan atau tidak diharamkan kawin dengan Pria Ahli Kitab.

Allah berfirman :
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan kawin dengan wanita-wanita yang menjaga kehormatan mereka dari kalangan orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya dan tidak menjadikannya sebagai gundik (QS. 5 – Al Maidah 5).

Berdasarkan ketiga Firman Allah tersebut di atas, maka Ahli Kitab dalam hal ini Kristen dan Yahudi tidak digolongkan dalam golongan orang-orang musyrik atau Kafir yang dilarang kawin dengan Pria Muslim maupun Wanita Muslimah. Orang Kristen dan Yahudi dimasukkan dalam golongan Ahli Kitab.

Perdebatan antara golongan penafsir lama dan penafsir baru dalam agama Islam pada umumnya diseputar ketiga ayat tersebut.

Kajian di atas menunjukkan bahwa pemikiran kalangan Islam berkaitan dengan perkawinan telah mengalami pergeseran yang sangat besar khususnya untuk kaum Pria Muslimnya, tetapi sebaliknya berdasarkan pertimbangan dan manfaat-mudaratnya, Wanita Muslimah yang dilarang kawin dengan Pria non Muslim muncul asumsi dimensi ketidak adilan.

Ulama Islam sepakat, jika terjadi perbedaan pendapat hendaknya kembali ke Al Qur’an. Didalam Al Qur’an tidak ada satu ayatpun yang dengan tegas mengharamkan Wanita Muslimah kawin dengan Pria non Islam Ahli Kitab, jadi yang mengharamkan perkawinan antara Wanita Muslimah dengan Pria non Muslim Ahli Kitab hanya pendapat ulama, untuk mencegah Wanita Muslimah terpengaruh suaminya kemudian akan murtad karena keluar dari Islam.

Pendapat yang mengatakan untuk mencegah Wanita Muslimah terpengaruh suaminya kemudian akan murtad karena keluar dari Islam, pendapat demikian belum pernah diuji kebenarannya.

Allah berfirman :
Ikutilah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Allah janganlah kamu ikuti pemimpin (*selain Allah ......................................................... Al A’raaf- 3.

*) Pengertian pemimpin disini adalah ajaran-ajaran, pendapat-pendapat, seruan-seruan, pernyataan-pernyataan, perintah-perintah atau ajakan-ajakan berdasarkan pandangan manusia dan Allah juga telah mengingatkan agar jangan memuja-muja atau mengagung-agungkan/mengkultuskan sesama Manusia.

Pengertian Musyrik dan Kafir sekarang sudah bergeser dari pengertian Musyrik dan Kafir pada jaman Muhammad s.a.w. yang dimaksud dengan Musyrik pada jaman Muhammad s.a.w. waktu itu adalah orang Arab yang beragama nenek moyangnya yaitu agama Pagan menyembah Dewa Bulan dan hal demikian tersebut dalam Firman Allah dalam QS. 9-AT Taubah/Baraa-ah 113.

Ketika Muhammad s.a.w. memohonkan pengampunan pamannya Abdul Thalib yang menolak ajakan Muhammad s.a.w. untuk mengucapkan Kalimah Sahadat dan ketika meninggalnya dimohonkan pengampunannya oleh Muhammad s.a.w., kemudian turun Firman Allah:

Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu penghuni neraka jahanam.................... QS. 9-At Taubah/Baraa-ah 113

Abdul Thalib paman Rasulullah s.a.w. digolongkan musyrik karena meskipun diajak masuk Islam, ia tetap memeluk agama Pagan, agama nenek moyang orang Arab, sampai meninggalnya.

Sebagian Ulama juga mempunyai pendapat berbeda;
1. Mereka menganggap Ahli Kitab dalam hal ini Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu bukan termasuk musyrik yang dimaksud oleh Firman Allah dalam Al Qur’an, karena Islampun mengakui bahwa Kristen dan Yahudi digolongkan dalam golongan Agama Samawi atau agama berdasarkan Wahyu Illahi, sedangkan Hindu, Buddha, Konghucu masing-masing mempunyai Kitab dan Nabi atau utusan.

2. Mereka digolongkan Musryik menurut Al Qur’an yaitu orang Arab yang menganut agama Pagan atau agama nenek moyangnya.

3. Pengertian Kafir sendiri lebih ditujukan kepada orang yang beriman kepada selain Allah, sedangkan Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha dan Konghucu adalah agama yang beriman kepada Allah, karena itu tidak dimasukkan dalam golongan orang-orang Kafir tetapi dimasukkan dalam golongan Ahli Kitab, selain itu Kafir ditujukan juga kepada orang-orang yang berhukum tidak menurut Firman Allah, dan juga kepada orang-orang yang memusuhi para Rasul.

4. Para ulama berselisih pendapat mengenai wanita Majusi dan Buddha, sebagian diantara mereka mengharamkan, karena wanita Majusi dan Budha dianggap wanita Musyrik, mereka beralasan : ..................... janganlah kamu nikahi wanita Musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita Musyrik meskipun dia menarik hatimu, Al Baqarah 221.

Sebagian ulama lainnya memperbolehkan, karena orang Majusi dan Budha dianggap sebagai ahli Kitab, dalam hadis dikatakan : Berlakulah terhadap mereka seperti terhadap ahli kitab.

Wanita Muslimah tidak diharamkan kawin atau dikawini oleh Pria Non Muslim, berdasarkan Firman Allah di dalam; Al Baqarah 221, Al Mumtahanah 10, Al Maidah 5, Al Maidah 44, dan At Taubah/ Baraa-ah 113.


2. Agama Kristen-Katolik.
Agama Kristen dan Katolik termasuk agama samawi karena wahyu yang diturunkan berdasarkan firman Illahi kepada Isa Almasih yang juga disebut Yesus Kristus. Kristen berasal dari nama Kristus merupakan gelar kehormatan bagi Yesus, Kristus berasal dari bahasa Yunani artinya di urapi.

Yesus mengajarkan cinta kasih baik kepada Illahi dengan segenap hati pikiran dan jiwa raga dan kepada sesama manusia, dengan cinta kasihnya sebagaimana mengasihi dirinya sendiri.

Sumber ajaran Kristen dan Katolik menggunakan Al Kitab atau yang dikenal dengan Injil artinya Berita Gembira. Ajaran dalam Injil terbagi dua, pertama Perjanjian Lama dan kedua Perjanjian Baru.

Perjanjian Lama mengisahkan penciptaan dan rencana Illahi terhadap manusia sebelum kedatangan Yesus Kristus atau keseluruhan proses menyambut kedatangan juru selamat yang dijanjikan.

Kedatangan Isa Almasih sang juru selamat yang juga disebut Yesus Kristus sebagai guru yang akan menyelamatkan manusia dari segala bentuk keserakahan, keangkaramurkaan agar mendapat kebahagiaan dunia dan akherat.

Ajaran dalam Perjanjian Lama meliputi ;
1. jangan menyembah berhala dan berbaktilah hanya kepada Allah dan mencintaiNya lebih dari segala-galanya;
2. jangan menyebut Tuhan Allahmu dengan ti-dak hormat;
3. Sucikan Hari Tuhan;
4. hormati ibu bapakmu;
5. jangan membunuh;
6. jangan berzinah;
7. jangan mencuri;
8. jangan berdusta;
9. jangan mengingini istri sesamamu;
10. jangan ingin memiliki sesamamu secara ti - dak adil.

Ajaran Perjanjian Baru meliputi;
1. Kasihilah Allah Tuhanmu dengan segenap hati, pikiran dan jiwa ragamu;

2. Kasihilah sesamamu manusia sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri.

Perjanjian Lama mengisahkan awal mula Illahi menciptakan manusia dan jagad raya ini dilanjutkan kisah-kisah para RasulNya beserta ajaran-ajarannya, sedangkan Perjanjian Baru mengisahkan kedatangan Yesus Kristus untuk menyempurnakan Taurat, kisah perjalanan, perkataan dan kejadian akan datang setelah wafatnya Yesus Kristus, semuanya ditulis atau dibukukan oleh murid-muridnya selanjutnya tulisan kisah-kisah tersebut disebut dengan Injil menurut nama dari murid penulisnya.

Terdapat dua catatan penting dalam tradisi Kristen;

Pertama, pemanfaatan dan optimalisasi berbagai teks yang menekankan keseimbangan antara kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama manusia.

Kebenaran Iman Kristen muncul kepermukaan dengan tidak menghina agama lain termasuk pendahulu agama Kristen;

Kedua, sumber skriptual perlu dilengkapi dengan wawasan-wawasan yang berasal dari berbagai deklarasi Hak Asasi Manusia. Sejarah perjumpaan antara gereja dan ilmu pengetahuan, Al Kitab tidak mengantisipasi, mencakup atau mengatasi ilmu pengetahuan.

Kejujuran untuk mengakui kenyataan ini telah menjadikan relasi yang sehat antara gereja dan ilmu pengetahuan sehingga membuka kemungkinan proses pembelajaran berdasarkan pengalaman dan penerapan antara tradisi Kristen dan Hak Asasi Manusia.

Dengan demikan gereja tidak tepat apabila hanya diposisikan sebagai gereja yang mengajar tetapi gereja yang belajar.

Gereja perlu belajar dari PBB yang telah menghasilkan deklarasi Hak Asasi Manusia yang dapat melahirkan faham toleransi dan penghargaan terhadap pluralisme.

Teolog moral dari kalangan Katolik melakukan penelusuran asal mula konsep hukum Kodrat berdasarkan pemikiran Yunani dan Romawi tetapi hukum Kodrat secara khusus masih dapat ditelusuri sampai kekurun waktu saat awal, melalui Perjanjian Lama karena Perjanjian Lama di dalamnya mencakup pengertian hukum kodrat ketika membahas tentang pembentukan bangsa Israel.

Didalam Sepuluh Perintah Allah terdapat larangan membunuh, mencuri dan hal ini menunjukan pengakuan atas hak untuk hidup dan hak milik. Perkembangan dalam gereja Katolik kubu progresif mengajarkan bahwa seluruh umat manusia mempunyai kesetaraan dasariah dan hakiki, yaitu sebagai citra Allah. Oleh karena itu, ajaran iman Katolik. Mengakui penciptaan, penebusan dan pengudusan manusia.

Para Uskup sedunia sepakat bahwa pengakuan perlindungan hak pribadi manusia sebagai tugas mulia dan menolak diskriminasi dalam bentuk apapun.

Gereja menolak penggunaan kekerasan dalam mengusahakan pertobatan dan mengundang orang Kristiani untuk menghormati martabat dan hak sesama.

Perkawinan menurut Agama Kristen-Katolik.
Meskipun Kristen dan Katolik keduanya sama-sama menyakini injil sebagai kitab sucinya sebagai Firman Tuhan, tetapi terdapat perbedaan antara Kristen dengan Katolik dan yang membedakan diantara keduanya pada penghormatan Bunda Maria, jika Katolik sangat menghormati Bunda Maria sedangkan Kristen Bunda Maria tidak menjadi prioritas utama dalam penghormatan.

Semasa hidupnya Isa Almasih tidak pernah terikat dalam suatu ikatan perkawinan sedangkan penganutnya Katolik terutama Pastur dan Suster mengikuti kehidupan Yesus Kristus tanpa terikat dalam suatu perkawinan, tetapi Kristen para pendetanya menjalani hidup dan tugasnya dalam penyebaran Injil dapat terikat oleh suatu ikatan perkawinan.

Injil kitab sucinya penganut Kristen dan Katolik tidak mengatur kehidupan khususnya dalam ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan antara pria Kristen maupun pria Katolik menurut Kristen dan Katolik tidak ada larangan untuk hidup terikat dalam suatu perkawinan meskipun beda agama demikian juga dengan wanita Kristen maupun Katolik tidak ada larangan untuk mengikat dalam suatu ikatan perkawinan beda agama menurut kitab sucinya. Tetapi perkawinan beda agama di dalam Agama Katolik, juga menimbulkan reaksi ketidak relaan Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto yang menyatakan, bahwa perkawinan semacam itu hanya akan menyulitkan anak-anak dalam memilih agama yang dianut orang tuanya.

Pendapat senada juga dikeluarkan oleh Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Soritua A.E. Nababan yang menyatakan; bagi Gereja urusannya hanya memberkati kedua suami istri, dan tidak menikahkan mereka. Jadi, perkawinan antar agama itu bagi kami sudah sah bila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

3. Agama Hindu.
Hindu muncul ribuan tahun sebelum Masehi, berawal dari “Shindu” nama sungai di wilayah Pakistan yang waktu itu Pakistan masih berada dalam satu ke-kuasaan India, Hindu juga disebut Sanata Dharma berarti agama yang kekal atau Waldika Dharma yang berarti agama berdasarkan kitab-kitab Weda.

Rig Weda berisi pemujaan terhadap Dewa-Dewa juga berisi bunga rampai yang menekankan Irama Musik, sama dengan Weda. Yayur Weda berisi mantera-mantera untuk upacara-upacara kecil sedangkan Atharwa Weda berisi mantera-mantera untuk kehi-dupan sehari-hari.

Upanisad berisi dialog antara guru dan murid, Darsana berisi pemujaan dalam manifes tertentu, Itihasa dan Purana berisi epos kepahlawanan dan cerita-cerita kuno, Brahmana berisi pujian-pujian kepada Dewa-Dewa.

Intisari ajaran Hindu dibagi menjadi tiga, pertama percaya kepada Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan sebagai Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan Dewa Siwa sebagai pengrusak atau penghancur untuk dikembalikan ketempat semula; Kedua percaya kepada Jiwa dan Roh; Ketiga percaya kepada Karma, Samsara, dan Moksa.

Semua agama pada dasarnya penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, universal dan abadi. Dengan demikian ajaran agama akan menuntun umat manusia untuk mencapai kehidupan lebih baik atau sempurna lahir dan batin di dunia dan akherat.

Agama Hindu agama tertua di dunia ini yang masih hidup dan berkembang serta punya pengaruh amat luas pada seluruh kehidupan manusia di belahan dunia ini. Hal ini disebabkan oleh ajaran-ajarannya masih tetap relevan pada setiap masa dan setiap jaman, demikian pula dalam abad modern ini.

Mengingat umurnya sudah lebih dari lima ribu tahun lalu, tentu dalam pengembangannya banyak mengalami proses pengadapsian yang dilakukan oleh para pemeluknya yang mempunyai latar belakang budaya berbeda, maka latar belakang kebudayaan umatnya juga ikut mewarnai perkembangan dan pengembangan Agama Hindu.

Agama Hindu baru dikenal sejak ada dan berkembangnya agama-agama lainnya di dunia. Dalam Kitab Weda baik Sruti maupun Smrti, agama itu disebut dengan nama Dharma atau Sanata Dharma saja, yang berarti “agama yang langgeng dan abadi”.

Dharma dalam Agama Hindu yang terdapat pada Atharwa Weda XI. I, Manusmrti dan Sarasamuscaya dinyatakan dengan kata-kata “Dharma dharavate prajah” dengan pengertian yang sangat luas, yaitu pada hakekatnya masyarakat itu didukung atau disangga oleh Dharma, sehingga manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Dharma.

Salah satu perkembangan yang terpenting dalam sejarah pertumbuhan Agama Hindu yang dapat ditemukan pada jaman kerajaan Majapahit di Indonesia, bahwa Agama Hindu pada waktu itu dinamakan Agama Siwa-Budha. Tetapi oleh karena kemudian terdapat kecenderungan untuk memisahkan Budha dari Hindu, maka praktek ajarannya saja yang masih sebagian dilaksanakan, sedangkan namanya tetap dipakai dengan istilah Hindu dan Budha berdiri sebagai agama tersendiri.

Menurut Agama Hindu, dalam kehidupan ini manusia mempunyai empat tujuan yang dinamakan “Catur Purusartha”. Catur artinya empat, Purusa artinya manusia dan Artha artinya tujuan, sehingga Catur Purusartha mempunyai arti empat tujuan hidup manusia.

Kitab Sarasamuscaya menerangkan bahwa kelahiran menjadi manusia itu merupakan suatu kesempatan yang terbaik untuk memperbaiki diri, oleh karena hanya manusialah yang dapat memperbaiki segala tingkah lakunya yang dipandang tidak baik agar menjadi baik, guna menolong dirinya dari penderitaan dalam usahanya untuk mencapai moksa.

Sedangkan dalam Kitab Nitisastra, Bhagawan Sukra mengemukakan bahwa semua perbuatan manusia itu pada hakekatnya didasarkan pada usaha untuk mencapai empat hakekat hidup yang terpenting, Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

Tidak ada satupun perbuatan manusia yang tidak didorong oleh keinginannya untuk mencapai keempat tujuan itu, sehingga dapat dikatakan bahwa keempat hal inilah yang menjadi hakekat tujuan hidup manusia menurut ajaran Agama Hindu.

Dharma, Artha, Kama dan Moksa dikenal juga dengan “Catur Warga atau Catur Purusartha”. Keempat aspek tujuan hidup manusia ini didalam ilmu politik disamakan dengan aspek-aspek keamanan, kesejahteraan, kebahagiaan lahir batin dan dharma mengandung pengertian aspek keadilan dan kepatutan.

Unsur keinginan yang berakar pada pikiran manusia, terdapat pula hakekat tujuan agama Hindu yang dirumuskan dalam “Moksartham Jagadhita ya , ca iti Dharma” artinya bahwa Dharma bertujuan untuk mencapai moksa dan kesejahteraan dunia.

Moksa dalam filsafat Hindu “Tattwa Dharsana” merupakan tujuan hidup manusia tertinggi. Tujuan ini harus diusahakan oleh setiap umat Hindu untuk mencapai dengan cara mengamalkan agama sebaik-baiknya. Adapun Jagadhita atau kesejahteraan itu akan dicapai apabila ketiga kerangka Dharma, Artha dan Kama itu terealisir dan manusia benar-benar berusaha untuk mewujudkannya dengan jalan berpikir, bertutur kata dan beryadnya.

Keinginan manusia itu tidak ada batasnya dan pada umumnya cenderung selalu merasa kurang, oleh karena itu Agma Hindu memberi ukuran yang bersifat membatasinya dengan Catur Purusartha suatu usaha untuk mewujudkan kesejahteraan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah secara seimbang melalui pengamalan Dharma, disamping itu Agama Hindu juga sebagai sarana untuk menyucikan jasmani dan rohani.

Agama Hindu sebagai Dharma untuk mengatur tata kehidupan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan, dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Hindu sebagai agama bukan hanya bersifat doktrinal dan dogma semata, akan tetapi juga memberikan jalan berdasarkan Wahyu Tuhan yang sifatnya ilmiah, karena itu Kitab Suci Agama Hindu disebut Weda, artinya ilmu pengetahuan tertinggi.

Perkawinan menurut Agama Hindu.

Kisah-kisah kepahlawanan dan perkawinan dalam Itihasa, Purana dan wivaha terbukukan dalam cerita Maha Bharata, Ramayana dan Arjuna Wivaha. Kisah-kisah Maha Bharata maupun Ramayana mengajarkan pola kehidupan dan philosofi dalam kehidupan yang harus dijalani dan ditaati oleh penganutnya jika ingin mencapai kesempurnaan hidup pada kehidupan berikutnya setelah mati.

Perkawinan dalam ajaran hindu, tersebut dalam kisah Maha Bharata, dikisahkan dalam perkawinan Pandawa Lima dengan Dewi Drupadi yang diperbolehkan seorang wanita mempunyai lima suami dalam kurun waktu yang sama dan masing-masing pria suaminya tetap dilayani dan dihormati tanpa diskriminasi antara satu pria suaminya dengan pria suaminya yang lain, demikian juga hubungan pria suami satunya dengan pria suami lainnya saling dihormati haknya, khususnya dalam hubungan suami istri.

Sedangkan dalam kisah Ramayana menggambarkan kesetiaan seorang wanita pada suaminya dikisahkan pada Dewi Shinta istri Rama Wijaya ketika Rama Wijaya menjalani masa pengasingan, Dewi Shinta diculik oleh Prabu Rahwana Raja Ngalengkadipura.

Meskipun dalam keadaan terancam dan terkungkung tetapi Dewi Shinta tetap pada pendiriannya, lebih baik mati dari pada kawin dengan Prabu Rahwana, dan tidak kalah setianya Rama Wijaya suami Dewi Shinta, mempertaruhkan segala-galanya untuk merebut dewi Shinta dari tangan Prabu Rahwana.

Kedua kisah tersebut masing-masing tidak mempermasalahkan agama yang dianut oleh masing-masing pelaku, baik oleh prianya maupun wanitanya.

Sejak dahulu sampai sekarang tidak ada larangan perkawinan antara pria penganut ajaran Hindu kawin dengan wanita non Hindu dan sebaliknya wanita penganut ajaran Hindu juga tidak dilarang kawin dengan pria non Hindu.

Disebutkan dalam Sloka 40-55 ; Seorang pria boleh memilih wanita untuk dijadikan istrinya diantara ketiga macam wanita ini: wanita berumur lanjut tetapi kaya, wanita yang tidak cantik tetapi pandai, wanita miskin tetapi amat cantik.

Didalam Kitab Nitisastra, disebutkan wanita yang jadi rebutan pria: Wanita yang mempunyai budi luhur, cantik rupanya, baik tingkah lakunya, keturunan keluarga baik-baik, lemah lembut pekertinya, halus perasaannya, dan sopan santun mewangi bagai mekarnya bunga Kusumawi.

Di dalam Sloka 40-55 maupun di dalam Kitab Nitisastra tidak dipersoalkan ikatan perkawinan dalam beda agama, baik pria Hindhu maupun wanitanya.


4. Agama Buddha.
Agama Buddha ajarannya berdasarkan pengalaman–pengalaman pribadi Siddhatta yang dikenal dengan Siddharta Gautama, Gotama nama keluarga, bertempat tinggal di India Utara di Kapilavatthu pada abad ke enam S.M. putra Suddhodana seorang Raja yang berkuasa di kerajaan wangsa Sakya sekarang dikenal dengan Nepal dari seorang ibu yang bernama Maya Devi.

Hidup penuh dengan kemewahan di dalam istana dan jauh dari pendritaan yang sangat pada masyarakat umumnya, telah menyadarkan Sidharta untuk mencari pencerahan hidup hakiki.

Buddha berasal dari kata “buddh” artinya bangkit atau bangun, mengandung makna pencerahan, mengetahui dan mengerti. Secara umum Buddha dapat diartikan sebagai seseorang yang telah memperoleh kebijaksanaan sempurna, orang yang sadar dan siap menyadarkan orang lain, dan orang yang bersih dari kebencian, serakah dan kegelapan.

Sang Buddha atau Siddharta Gautama yang diakui sebagai pendiri dan sekaligus guru agama Buddha oleh penganutnya, Buddha tidak pernah menyatakan dirinya sebagai manusia luar biasa atau bukan manusia biasa dan juga menyatakan tidak pernah memperoleh wahyu dari “Satu Kekuasaan Luar” yang manapun juga, dikatakan bahwa semua penyelaman Kesunyataan, pengalaman dan penerangan yang diperolehnya, semata-mata berkat usaha, jerih payah dan kecerdasan seorang manusia biasa.

Seorang manusia biasa sajalah yang dapat menjadi Buddha, karena di dalam diri seorang manusia terdapat kekuatan yang dapat membawa ia menjadi Buddha asal saja ia mau berusaha.

Menurut agama Buddha, hanya seorang manusialah yang tertinggi kedudukannya. Seorang manusia menjadi Tuan dari dirinya sendiri dan tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat menentukan nasibnya.

Buddha mengajarkan kepada murid-muridnya untuk mencari perlindungan pada diri sendiri dan jangan sekali-kali mencari perlindungan pada orang lain, menganjurkan dan mendorong setiap orang untuk berusaha dengan kekuatan sendiri karena dalam diri sendiri sesungguhnya terdapat kekuatan yang dapat membebaskan dari semua belenggu dengan usaha dan kecerdasan sendiri.

Buddha mengajarkan pada murid-muridnya untuk tidak percaya begitu saja kepada sesuatu yang didesas-desuskan. Jangan percaya begitu saja kepada sesuatu yang katanya sudah diramalkan dalam buku suci, juga kepada sesuatu yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka, juga kepada sesuatu yang katanya telah direnungkan dengan seksama, juga karena cocok dengan pandangan atau karena menghormati seseorang, untuk itu segala sesuatu harus diselidiki terlebih dahulu.

Kebebasan berpikir dalam agama Buddha sangat unik dan tidak dikenal dalam agama-agama lain, kebebasan itu perlu, sebab hanya dengan adanya kebebasan ini orang dapat mencapai hasil tertinggi. Orang harus menyelami karena usaha dan daya upayanya sendiri dan tidak mungkin diperoleh karena belas kasihan dari guru-guru luar atau dari “Kekuatan Tinggi”.

Siddharta Gautama yang juga disebut Buddha diartikan sebagai seorang yang telah memperoleh kebijakan sempurna, orang yang sadar dan siap menyadarkan orang lain agar bersih dari kebencian atau dosa, keserakahan atau lobha dan kegelapan atau mo ha.

Pangkal dari ajaran Buddha pada Kitab Tripitaka yang berarti tiga keranjang berupa percakapan atau komunikasi antara Buddha dengan para pengikutnya dan juga dengan sesama murid.

Tiga bagian dari Kitab Tri Pitaka;

Pertama Kitab Vinaya Pitaka, berisi peraturan bagi para bhiku dan bikkhuni yang terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka dan Parivara;

Kedua Kitab Sutra Pitaka, berisi uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna yang terdiri atas Dighanikaya, Majjhimanikaya, Angutaranikaya, Samyuttanikaya, dan Khuddakanikaya;

Ketiga Kitab Abhidarma Pitaka, berisi Filsafat Buddha Dharma, mencakup bidang-bidang etika, psikologi, logika dan metafisika, terdiri atas Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Pungglapan-natti, Kathavatthu, Yamaka dan Patthana.

Pada awalnya ajaran Agama Buddha tidak bertitik tolak pada Ketuhanan tetapi berdasarkan kenyataan dan pengalaman hidup manusia. Ajaran Ketuhanan muncul dengan munculnya aliran Theravada dan aliran Mahayana.

Theravada tetap akan mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dengan menyatakan bahwa Tuhan tidak dilahirkan, tidak menderita, tidak menjelma, tidak tercipta, hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tidak ada awal tidak ada akhir, tidak dapat diapa-apakan, tidak kenal masa dan pemberhentian dan tidak terhingga.

Tuhan tidak memiliki sebab akibat dengan alam semesta, karena jika demikian halnya, maka hubungan yang terjadi bersifat relatif.

Kebuddhaan seseorang diukur akhir mencapai Nibbhana, yakni dengan jalan meleyapkan nafsu, dosa dan kegelapan batin.

Aliran Mahayana menyatakan bahwa Siddharta Gautama merupakan bagian rangkaian banyak Buddha, di dalam diri seseorang selalu mempunyai unsur Kebuddhaan yang disebut tathagagarbha atau rahim Kebuddhaan, dan buddhabija atau benih Buddha. Karena antara Buddha yang satu dan lainnya berbeda, maka dalam perkembangannya muncul beberapa doktrin, diantaranya doktrin Trikaya, Adi Buddha di Indonesia, Tentang Alam, Tentang Manusia dan Menuju Nirwana.

Etika Buddha pada dasarnya mengajarkan; Tidak berbuat kejahatan, meningkatkan kebaikan, dan menyucikan batin. Buddha memandang manusia yang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri, mampu memperbaiki sendiri memperbaiki hidupnya dan mencapai pembebasan.

Buddha mengakui nilai-nilai manusiawi dalam segala seginya. Pikiran, ucapan dan perbuatan manusia membawa tanggung jawab moral dan memungkinkan perkembangan pribadi untuk meningkatkan martabat manusia.

Kedudukan manusia tertinggi, tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada mahluk lain yang berkuasa atas dirinya, kegagalan dan keberhasilan merupakan hasil dari kemauan dan perbuatannya sendiri. Jika seseorang menghargai hidupnya sendiri, maka harus pula menjaganya baik-baik dan hidup secara lurus.

Berpijak pada pemahaman bahwa tidak ada yang lebih berharga bagi manusia daripada hidupnya sendiri, maka ia pun harus menghargai dan menghormati hidup orang lain seperti hidupnya sendiri.

Perkawinan menurut Agama buddha.
Buddha tidak pernah mengajarkan keharusan atau larangan khususnya dalam perkawinan dan berdasarkan ajaran kebebasan itulah maka penganut Buddha diperbolehkan atau tidak dilarang seorang pria Buddha mengikat perkawinan dengan wanita non Buddhis, demikian juga dengan wanita Buddhis diperbolehkan atau tidak dilarang mengikat perkawinan dengan pria non Buddha.

Bukan hanya kebebasan berpikir, tetapi juga toleransi yang diajarkan Buddha kepada murid-muridnya maka penganut Buddha bebas memilih pasangan hidupnya dalam suatu ikatan perkawinan tanpa memandang agamanya.

Meskipun bebas berpikir tetapi Buddha mengajarkan hubungan antara suami-istri merupakan hubungan yang suci dan keramat atau penghidupan keluarga yang keramat atau Sadara-Brahma-cariya, tekanan diberikan kepada istilah “Brahma” merupakan penghormatan tertinggi diberikan kepada hubungan suami-istri, karena suami istri harus setia, saling mencintai, saling berbakti dan mempunyai kewajiban tertentu terhadap satu dengan yang lain.

Suami harus selalu menghormati istrinya dan menjaga jangan sampai kekurangan apa-apa. Ia harus mencintainya dan setia kepadanya, harus membe-rikan kedudukan dan kesenangan kepada istrinya dan harus memberikan pakaian dan perhiasan.

Sebaliknya istri juga harus mengawasi dan mengurus rumah tangga, harus menjamu sahabat-sahabat, tamu-tamu, keluarga dan pegawai suami, harus mencintai dan setia kepada suaminya, harus melindungi pencaharian suami, serta harus pintar dan rajin dalam semua pekerjaannya.


5. Agama Khonghucu.
Konghuchu yang disebut juga dengan Konfisius berawal dari ajaran Konghucu atau Konfisius ahli filsafat yang memadukan dan mengembangkan alam pikiran kepercayaan orang Cina.

Ajarannya, mengajarkan etika kehidupan perorangan dan etika kehidupan dalam masyarakat agar berperilaku baik, ajarannya hanya menyangkut moral pribadi dan moral bermasyarakat yang tidak berhubungan dengan Ketuhanan, namun meskipun tidak bersentuhan dengan Ketuhanan tetapi karena ajaran perbuatan moral baiknya mendekati moral yang ditanamkan oleh agama, maka ajaran Konghuchu dianggap agama.

Meskipun tidak bersentuhan dengan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak menolak atau tidak meragukan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dianut oleh masyarakat.

Pemujaan lebih mengarah pada para leluhurnya, kesetiaan pada sanak keluarga dan hormat pada orang tua.

Ajaran Konghuchu lebih menekankan betapa pentingnya penghormatan dan ketaatan istri terhadap suami, atau rakyat terhadap penguasa, dan dalam kehidupannya selalu memiliki dua nilai Yen dan Li, Yen bermakna cinta dan keramahan sedangkan Li bermakna serangkaian perilaku, ibadah, adat, tatakrama dan sopan santun. Kekagumannya diarahkan pada perintah Tuhan, tokoh-tokoh penting dan kata-kata bijak.

Ajaran Konghuchu atau Konfisius berdasarkan wejangan-wejangan Konghuchu dan murid-muridnya yang terdiri dari dua kitab penting;

Pertama, Enam Kitab klasik terdiri dari Shu Ching berisi sejarah dinasti kuno negeri Cina, Shih Ching berisi puisi lima abad pertama dinasti Chan, Yi Ching berisi filsafat, Li Chi berisi tentang upacara tradisional, Yeo Yang berisi musik yang dikaitkan dengan puisi, Chu’un Ch’ii berisi tentang keterangan musim semi dan musim rontok;

Kedua, tiga Kitab Kebajikan terdiri dari Ta Hsuch berisi tentang perkembangan diri menuju kebajikan tertinggi, Chung Yung berisi tentang doktrin kehendak, dan Hsioo Ching berisi tentang perilaku baik dari anak.

Pemeluk Agama Konghuchu dalam kehidupannya, manusia perlu memiliki rasa hormat dalam pergaulan maupun hormat terhadap tugas dan kewajiban.

Kalau hak asasi ingin dihormati dan dijunjung, maka harus menghormati dan menjunjung hak asasi orang lain, dan kehidupan demikian selaras dengan HAM. Perbuatan tidak hormat dan tidak sungguh-sungguh sama halnya menghina diri sendiri dan merusak diri sendiri.


Perkawinan menurut Agama Khonghuchu.

Konghuchu tidak mempersoalkan keagamaan dalam perkawinan, baik untuk Pria maupun wanitanya, meskipun beda kepercayaan atau keyakinannya diserahkan pada penganutnya masing-masing khususnya dalam perkawinan.


6. Aliran Kepercayaan-Kebatinan.
Kepercayaan mengandung arti percaya pada yang gaib, meskipun percaya pada yang gaib, tetapi tidak dimasukkan sebagai agama karena kepercayaan pada yang gaib sudah merupakan bagian dari adat, sedangkan kebatinan merupakan bagian dalam dari tubuh manusia, sehingga kebatinan dapat diartikan sebagai ilmu untuk mempelajari secara mendalam ajaran agama atau keagamaan.

Muh Noor dalam Seminar Kebatinan Indonesia ke-III menyatakan sebagai berikut. :

Pengertian kebatinan sangat sulit untuk dilukiskan dengan rumusan kata-kata, tetapi anehnya lebih mudah dimengerti dengan perasaan, jadi pengertian kebatinan lebih mudah dicapai dengan rasa dari pada dengan akal.

Badan Kongres Kebatinan Indonesia secara khusus memberi rumusan kebatinan sebagai: “Sumber asas dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur dan kesempurnaan hidup”.

Sumantri Mertodipuro merumuskan kontruksi kebatinan di dalam konteks Indonesia; Kebatinan adalah cara Indonesia untuk memperoleh kebahagiaan baik
didalam agama maupun diluar agama.

Aliran kepercayaan dan aliran kebatinan banyak mendalami filsafat-filsafat nenek moyang yang sangat menghargai martabat orang, dengan demikian aliran kepercayaan dan aliran kebatinan tidak ada yang bertentangan dengan HAM.


Perkawinan menurut Aliran Kepercayaan-Kebatinan.
Aliran kepercayaan, sumber ajarannya berdasarkan perpaduan dari Animisme, Hindhu, Buddha, Islam dan Adat-Istiadat, kelima-limanya atau sebagian digabung atau dilebur menjadi satu yang kemudian dikenal dengan aliran kepercayaan dan yang populer disebut Kejawen, aliran kepercayaan atau kebatinan tidak mempersoalkan atau tidak melarang perkawinan beda agama atau kepercayaannya.


Pendirian masing-masing tokoh agamanya.1. Pendirian Ulama Islam dan umumnya orang yang beragama Islam, berpendapat bahwa Pria Muslim dihalalkan kawin atau mengawini Wanita non Muslimah Ahli Kitab, sedangkan Wanita Muslimah diharamkan kawin atau dikawini dengan Pria non Muslim meskipun Ahli Kitab dengan berpedoman pada QS-2, Al Baqarah 221 dan Al Maidah 5.

2. Maulana Muhammad Ali dan Sayid Mohammad Rasyd Ridha Ulama dari Pakistan dikutip dari Ngakan Putu Muderana berpendirian; bahwa Pria Muslim dibenarkan kawin atau mengawini Wanita non Muslimah yang beragama apapun juga, dan sebaliknya seorang Wanita Muslimah dilarang atau diharamkan kawin atau dikawinni oleh Pria Non Muslim apapun agama yang dianutnya. Ulama ini mengartikan bahwa Kitabiyah yang tertulis dalam Al Maidah 5 itu tidak hanya meliputi Yahudi dan Kristen saja, tetapi juga meliputi Hindu, Budha, Khonghucu dan lain-lainnya, karena sudah diturunkan wahyu kepada seluruh penduduk dunia.

3. Pendirian yang ekstrem dalam hukum Islam yang tidak membenarkan sama sekali adanya perkawinan antar agama, dimana seorang Pria Muslim tidak diperkenankan atau diharamkan kawin atau mengawini selain Wanita Muslimah, demikian juga Wanita Muslimah tidak diperke-nankan atau diharamkan kawin atau dikawini oleh Pria Non Muslim apapun agamanya.

4. Pendirian pemuka Agama Katolik terdapat dua pandangan;

4.1. Jika dengan sesama Baptis, kemungkinan diberikan dispensasi;
4.2. Dengan orang yang tidak pernah di Babtis, dilarang oleh pemuka Agama Katolik.

Reaksi ketidak relaan Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto yang menyatakan, bahwa perkawinan semacam itu hanya akan menyulitkan anak-anak dalam memilih agama
yang dianut orang tuanya.

5. Pendirian Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Soritua A.E. Nababan yang menyatakan; bagi Gereja urusannya hanya memberkati kedua suami istri, dan tidak menikahkan mereka. Jadi, perkawinan antar agama itu bagi kami sudah sah bila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

5. Pendirian Agama Hindu Bali, Wanita Triwangsa dilarang kawin dengan Pria selain dari Triwangsa, teristimewa Wanita Brahmana dilarang kawin atau dikawini oleh Pria berkasta rendahan atau tidak berkasta.

Pada hakekatnya para tokoh-tokoh agama, masing-masing keberatan atau menolak perkawinan campuran antar agama atau perkawinan beda agama, tetapi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tidak melarang dan juga tidak menganjurkan, meskipun demikian bukan berarti perkawinan campuran antar agama atau perkawinan beda agama dapat berjalan dengan baik didalam prakteknya, karena Pejabat pelaksana perkawinan banyak yang belum memahami Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya perkawinan beda agama maka bagi pasangan beda agama yang akan melangsungkan perkawinan masih banyak terkendala atau masih mengalami diskriminasi dalam mewujudkan harapannya untuk hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan yang berbeda agama.